Agnes adalah sosok wanita
Katolik taat. Setiap malam, ia beserta keluarganya rutin berdoa bersama.
Bahkan, saking taatnya, saat Agnes dilamar Martono, kekasihnya yang beragama
Islam, dengan tegas ia mengatakan, “Saya lebih mencintai Yesus Kristus dari
pada manusia!”
Ketegasan prinsip Katolik
yang dipegang wanita itu menggoyahkan Iman Martono yang muslim, namun jarang
melakukan ibadah sebagaimana layaknya orang beragama Islam. Martono pun masuk
Katolik, sekedar untuk bisa menikahi Agnes. Tepat tanggal 17 Oktober 1982,
mereka melaksanakan pernikahan di Gereja Ignatius, Magelang, Jawa Tengah.
Usai menikah, lalu
menyelesaikan kuliahnya di Jogjakarta, Agnes beserta sang suami berangkat ke
Bandung, kemudian menetap di salah satu kompleks perumahan di wilayah Timur
kota kembang. Kebahagiaan terasa lengkap menghiasi kehidupan keluarga ini
dengan kehadiran tiga makhluk kecil buah hati mereka, yakni: Adi, Icha dan Rio.
Di lingkungan
barunya, Agnes terlibat aktif sebagai jemaat Gereja Suryalaya, Buah Batu,
Bandung. Demikan pula Martono, sang suami. Selain juga aktif di Gereja, Martono
saat itu menduduki jabatan penting, sebagai kepala Divisi Properti PT Telkom
Cisanggarung, Bandung.
Karena Ketaatan mereka memegang iman Katolik, pasangan ini bersama beberapa sahabat se-iman, sengaja mengumpulkan dana dari tetangga sekitar yang beragama Katolik. Mereka pun berhasil membeli sebuah rumah yang ‘disulap’ menjadi tempat ibadah (Gereja,red).
Uniknya, meski sudah menjadi pemeluk ajaran Katolik, Martono tak melupakan kedua orangtuanya yang beragama Islam. Sebagai manifestasi bakti dan cinta pasangan ini, mereka memberangkatkan ayahanda dan ibundanya Martono ke Mekkah, untuk menunaikan rukun Islam yang kelima.
Karena Ketaatan mereka memegang iman Katolik, pasangan ini bersama beberapa sahabat se-iman, sengaja mengumpulkan dana dari tetangga sekitar yang beragama Katolik. Mereka pun berhasil membeli sebuah rumah yang ‘disulap’ menjadi tempat ibadah (Gereja,red).
Uniknya, meski sudah menjadi pemeluk ajaran Katolik, Martono tak melupakan kedua orangtuanya yang beragama Islam. Sebagai manifestasi bakti dan cinta pasangan ini, mereka memberangkatkan ayahanda dan ibundanya Martono ke Mekkah, untuk menunaikan rukun Islam yang kelima.
Hidup harmonis dan
berkecukupan mewarnai sekian waktu hari-hari keluarga ini. Sampai satu ketika,
kegelisahan menggoncang keduanya. Syahdan, saat itu, Rio, si bungsu yang sangat
mereka sayangi jatuh sakit. Panas suhu badan yang tak kunjung reda, membuat
mereka segera melarikan Rio ke salah satu rumah sakit Kristen terkenal di
wilayah utara Bandung.
Di rumah sakit, usai dilakukan diagnosa, dokter yang menangani saat itu mengatakan bahwa Rio mengalami kelelahan. Akan tetapi Agnes masih saja gelisah dan takut dengan kondisi anak kesayangannya yang tak kunjung membaik.
Di rumah sakit, usai dilakukan diagnosa, dokter yang menangani saat itu mengatakan bahwa Rio mengalami kelelahan. Akan tetapi Agnes masih saja gelisah dan takut dengan kondisi anak kesayangannya yang tak kunjung membaik.
Saat dipindahkan ke
ruangan ICU, Rio, yang masih terkulai lemah, meminta Martono, sang ayah, untuk
memanggil ibundanya yang tengah berada di luar ruangan. Martono pun keluar
ruangan untuk memberitahu Agnes ihwal permintaan putra bungsunya itu. Namun, Agnes tak mau
masuk ke dalam. Ia hanya mengatakan pada Martono, ”Saya sudah tahu.” Itu saja. Martono
heran. Ia pun kembali masuk ke ruangan dengan rasa penasaran yang masih
menggelayut dalam benak.
Di dalam, Rio
berucap, “Papah, hidup ini hanya 1 centi. Di sana nggak ada batasnya,”
lanjutnya. Sontak, rasa takjub menyergap Martono. Ucapan bocah
mungil buah hatinya yang tengah terbaring lemah itu sungguh mengejutkan.
Nasehat kebaikan keluar dari mulutnya seperti orang dewasa yang mengerti agama.Hingga sore
menjelang, Rio kembali berujar, “Pah, Rio mau pulang!”
“Ya, kalau sudah
sembuh nanti, kamu boleh pulang sama Papa dan Mama,” jawab Martono.
“Ngga, saya mau pulang sekarang. Papah, Mamah, Rio tunggu di pintu surga!” begitu, ucap Rio, setengah memaksa.
“Ngga, saya mau pulang sekarang. Papah, Mamah, Rio tunggu di pintu surga!” begitu, ucap Rio, setengah memaksa.
Belum hilang
keterkejutan Martono, tiba-tiba ia mendengar ‘bisikan’ yang meminta dia untuk
membimbing membacakan syahadat kepada anaknya. Ia kaget dan bingung. Tapi
perlahan Rio dituntun sang ayah, Martono, membaca syahadat, hingga kedua mata
anak bungsunya itu berlinang. Martono hafal syahadat, karena sebelumnya adalah
seorang Muslim.
Tak lama setelah itu
‘bisikan’ kedua terdengar, bahwa setelah adzan Maghrib Rio akan dipanggil sang
Pencipta. Meski tambah terkejut, mendengar bisikan itu, Martono pasrah. Benar
saja, 27 Juli 1999, persis saat sayup-sayup adzan Maghrib, berkumandang Rio
menghembuskan nafas terakhirnya.
Tiba jenazah Rio di rumah duka, peristiwa aneh lagi-lagi terjadi. Agnes yang masih sedih waktu itu seakan melihat Rio menghampirinya dan berkata, “Mah saya tidak mau pakai baju jas mau minta dibalut kain putih aja.”
Tiba jenazah Rio di rumah duka, peristiwa aneh lagi-lagi terjadi. Agnes yang masih sedih waktu itu seakan melihat Rio menghampirinya dan berkata, “Mah saya tidak mau pakai baju jas mau minta dibalut kain putih aja.”
Saran dari seorang
pelayat Muslim, bahwa itu adalah pertanda Rio ingin dishalatkan sebagaimana
seorang Muslim yang baru meninggal.
Setelah melalui
diskusi dan perdebatan diantara keluarga, jenazah Rio kemudian dibalut pakaian,
celana dan sepatu yang serba putih kemudian dishalatkan. Namun, karena banyak
pendapat dari keluarga yang tetap harus dimakamkan secara Katolik, jenazah Rio
pun akhirnya dimakamkan di Kerkov. Sebuah tempat pemakaman khusus Katolik, di
Cimahi, Bandung.
Sepeninggal anaknya,
Agnes sering berdiam diri. Satu hari, ia mendengar bisikan ghaib tentang rumah
dan mobil. Bisikan itu berucap, “Rumah adalah rumah Tuhan dan mobil adalah
kendaraan menuju Tuhan.” Pada saat itu juga
Agnes langsung teringat ucapan mendiang Rio semasa TK dulu, ”Mah, Mbok Atik nanti
mau saya belikan rumah dan mobil!” Mbok Atik adalah seorang muslimah yang
bertugas merawat Rio di rumah.Saat itu Agnes menimpali celoteh si bungsu sambil
tersenyum, “Kok Mamah ga dikasih?”
“Mamah kan nanti
punya sendiri” jawab Rio, singkat.
Entah mengapa,
setelah mendengar bisikan itu, Agnes meminta suaminya untuk mengecek ongkos
haji waktu itu. Setelah dicek, dana yang dibutuhkan Rp. 17.850.000. Dan yang
lebih mengherankan, ketika uang duka dibuka, ternyata jumlah totalnya persis
senilai Rp 17.850.000, tidak lebih atau kurang sesenpun. Hal ini diartikan
Agnes sebagai amanat dari Rio untuk menghajikan Mbok Atik, wanita yang
sehari-hari merawat Rio di rumah.
Singkat cerita, di
tanah suci, Mekkah, Mbok Atik menghubungi Agnes via telepon. Sambil menangis ia
menceritakan bahwa di Mekkah ia bertemu Rio. Si bungsu yang baru saja
meninggalkan alam dunia itu berpesan, “Kepergian Rio tak usah terlalu
dipikirkan. Rio sangat bahagia disini. Kalo Mama kangen, berdoa saja.”
Namun, pesan itu tak
lantas membuat Agnes tenang. Bahkan Agnes mengalami depresi cukup berat, hingga
harus mendapatkan bimbingan dari seorang Psikolog selama 6 bulan.
Satu malam saat tertidur, Agnes dibangunkan oleh suara pria yang berkata, “Buka Alquran surat Yunus!”. Namun, setelah mencari tahu tentang surat Yunus, tak ada seorang pun temannya yang beragama Islam mengerti kandungan makna di dalamnya. Bahkan setelah mendapatkan Al Quran dari sepupunya, dan membacanya berulang-ulang pun, Agnes tetap tak mendapat jawaban.
“Mau Tuhan apa sih?!” protesnya setengah berteriak, sembari menangis tersungkur ke lantai. Dinginnya lantai membuat hatinya berangsur tenang, dan spontan berucap, “Astaghfirullah…”
Tak lama kemudian, akhirnya Agnes menemukan jawabannya sendiri di surat Yunus ayat 49: “Katakan tiap-tiap umat mempunyai ajal. Jika datang ajal, maka mereka tidak dapat mengundurkannya dan tidak (pula) mendahulukannya”.
Satu malam saat tertidur, Agnes dibangunkan oleh suara pria yang berkata, “Buka Alquran surat Yunus!”. Namun, setelah mencari tahu tentang surat Yunus, tak ada seorang pun temannya yang beragama Islam mengerti kandungan makna di dalamnya. Bahkan setelah mendapatkan Al Quran dari sepupunya, dan membacanya berulang-ulang pun, Agnes tetap tak mendapat jawaban.
“Mau Tuhan apa sih?!” protesnya setengah berteriak, sembari menangis tersungkur ke lantai. Dinginnya lantai membuat hatinya berangsur tenang, dan spontan berucap, “Astaghfirullah…”
Tak lama kemudian, akhirnya Agnes menemukan jawabannya sendiri di surat Yunus ayat 49: “Katakan tiap-tiap umat mempunyai ajal. Jika datang ajal, maka mereka tidak dapat mengundurkannya dan tidak (pula) mendahulukannya”.
Beberapa kejadian
aneh yang dialami sepeninggal Rio, membuat Agnes berusaha mempelajari Islam
lewat beberapa buku. Hingga akhirnya wanita penganut Katolik taat ini berkata,
“Ya Allah, terimalah saya sebagai orang Islam, saya tidak mau di-Islamkan oleh
orang lain!”.
Setelah memeluk Islam, Agnes secara sembunyi-sembunyi melakukan shalat. Sementara itu, Martono, suaminya, masih rajin pergi ke gereja. Setiap kali diajak ke gereja Agnes selalu menolak dengan berbagai alasan.
Setelah memeluk Islam, Agnes secara sembunyi-sembunyi melakukan shalat. Sementara itu, Martono, suaminya, masih rajin pergi ke gereja. Setiap kali diajak ke gereja Agnes selalu menolak dengan berbagai alasan.
Sampai suatu malam,
Martono terbangun karena mendengar isak tangis seorang perempuan. Ketika
berusaha mencari sumber suara, betapa kagetnya Martono saat melihat istri
tercintanya, Agnes, tengah bersujud dengan menggunakan jaket, celana panjang
dan syal yang menutupi aurat tubuhnya.
“Lho kok Mamah
shalat,” tanya Martono. “Maafkan saya, Pah.
Saya duluan, Papah saya tinggalkan,” jawab Agnes lirih. Ia pasrah akan segala
resiko yang harus ditanggung, bahkan perceraian sekalipun.
Sejak keputusan sang istri memeluk Islam, Martono seperti berada di persimpangan. Satu hari, 17 Agustus 2000, Agnes mengantar Adi, putra pertamanya untuk mengikuti lomba adzan yang diadakan panitia Agustus-an di lingkungan tempat mereka tinggal. Adi sendiri tiba-tiba tertarik untuk mengikuti lomba adzan beberapa hari sebelumnya, meski ia masih Katolik dan berstatus sebagai pelajar di SMA Santa Maria, Bandung. Martono sebetulnya juga diajak ke arena perlombaan, namun menolak dengan alasan harus mengikuti upacara di kantor.
Di tempat lomba yang diikuti 33 peserta itu, Gangsa Raharjo, Psikolog Agnes, berpesan kepada Adi, “Niatkan suara adzan bukan hanya untuk orang yang ada di sekitarmu, tetapi niatkan untuk semesta alam!” ujarnya.
Sejak keputusan sang istri memeluk Islam, Martono seperti berada di persimpangan. Satu hari, 17 Agustus 2000, Agnes mengantar Adi, putra pertamanya untuk mengikuti lomba adzan yang diadakan panitia Agustus-an di lingkungan tempat mereka tinggal. Adi sendiri tiba-tiba tertarik untuk mengikuti lomba adzan beberapa hari sebelumnya, meski ia masih Katolik dan berstatus sebagai pelajar di SMA Santa Maria, Bandung. Martono sebetulnya juga diajak ke arena perlombaan, namun menolak dengan alasan harus mengikuti upacara di kantor.
Di tempat lomba yang diikuti 33 peserta itu, Gangsa Raharjo, Psikolog Agnes, berpesan kepada Adi, “Niatkan suara adzan bukan hanya untuk orang yang ada di sekitarmu, tetapi niatkan untuk semesta alam!” ujarnya.
Hasilnya, suara Adzan
Adi yang lepas nan merdu, mengalun syahdu, mengundang keheningan dan
kekhusyukan siapapun yang mendengar. Hingga bulir-bulir air mata pun mengalir
tak terbendung, basahi pipi sang Ibunda tercinta yang larut dalam haru dan
bahagia. Tak pelak, panitia pun menobatkan Adi sebagai juara pertama,
menyisihkan 33 peserta lainnya.
Usai lomba Agnes dan Adi bersegera pulang. Tiba di rumah, kejutan lain tengah menanti mereka. Saat baru saja membuka pintu kamar, Agnes terkejut melihat Martono, sang suami, tengah melaksanakan shalat. Ia pun spontan terkulai lemah di hadapan suaminya itu. Selesai shalat, Martono langsung meraih sang istri dan mendekapnya erat. Sambil berderai air mata, ia berucap lirih, “Mah, sekarang Papah sudah masuk Islam.”
Usai lomba Agnes dan Adi bersegera pulang. Tiba di rumah, kejutan lain tengah menanti mereka. Saat baru saja membuka pintu kamar, Agnes terkejut melihat Martono, sang suami, tengah melaksanakan shalat. Ia pun spontan terkulai lemah di hadapan suaminya itu. Selesai shalat, Martono langsung meraih sang istri dan mendekapnya erat. Sambil berderai air mata, ia berucap lirih, “Mah, sekarang Papah sudah masuk Islam.”
Mengetahui hal itu,
Adi dan Icha, putra-putri mereka pun mengikuti jejak ayah dan ibunya, memeluk
Islam.
Perjalanan panjang
yang sungguh mengharu biru. Keluarga ini pun akhirnya memulai babak baru
sebagai penganut Muslim yang taat. Hingga kini, esok, dan sampai akhir zaman.
Insya Allah.
- (Profil Bapak Martono dan Ibu Agnes juga bisa disimak di Situs Pondok Pesantren Baitul Hidayat ( http://baitulhidayah.org/ profil-pewakaf/ ) yang merupakan wakaf dari mereka berdua)