Wednesday, November 16, 2011

hitsuke.blogspot.com

Psikologi anak-anak korban perceraian

Memang ada pandangan psikologi mutakhir yang menyatakan orang bisa hidup lebih bahagia setelah bercerai. Bahwa perceraian bukan akhir kehidupan suami istri. Namun, orangtua yang bercerai harus tetap memikirkan bagaimana membantu anak mengatasi penderitaan akibat ayah Ibunya berpisah. 

Dari waktu ke waktu, kasus perceraian tampaknya terus meningkat. Maraknya tayangan infotainment di televisi yang menyiarkan parade Artis Dan public figure yang mengakhiri perkawinan mereka melalui meja Pengadilan, seakan mengesahkan bahwa perceraian merupakan tren. Sepertinya kesakralan Dan makna perkawinan sudah tidak lagi berarti. Pasangan yang akan bercerai sibuk mencari pembenaran akan keputusan mereka untuk berpisah. Mereka tidak lagi mempertimbangkan bahwa ada Yang bakal sangat menderita dengan keputusan tersebut, yaitu anak-anak.
Namun, fenomena perceraian marak terjadi bukan hanya di kalangan artis atau public figure saja. Di dalam keluarga sederhana, bahkan di dalam Lingkungan pendidik, lingkungan yang tampak religius, perceraian juga Banyak terjadi.

Salah satunya terjadi pada Pak Edy (bukan nama sesungguhnya) ,
Sambil bertanya, sekilas ia menjelaskan kesulitannya mengasuh anak satu-satunya yang berusia empat tahun. Doni, nama anak itu, menjadi sangat nakal dan tidak mau ditinggal bekerja oleh ayahnya. Di akhir Cerita, Pak Edy baru mengaku bahwa ia telah berpisah dengan istrinya karena ketidakcocokan. 

Pada kisah lainnya, Ayu, bocah berumur delapan tahun, mengalami perubahan sangat memprihatinkan setelah orangtuanya bercerai. Ayu enggan berangkat ke sekolah. Sebab, di lingkungan dia belajar itu banyak temannya yang bertanya-tanya tentang kasus perceraian orangtuanya.

Ayu menjadi malu, merasa dirinya sangat buruk karena memiliki orangtua yang bercerai. Dalam hati Ayu juga merasa marah kepada ayah dan ibunya kenapa mereka sering bertengkar dan saling marah. Akibatnya, sulit baginya mengharapkan bisa bepergian sekeluarga ke mal atau keluar kota untuk berlibur, seperti yang dialami teman-temannya. Sejak perceraian itu semangat belajar Ayu menurun drastis, Sehingga nilai rapornya pun merosot. Anak yang tadinya gembira dan ceria itu berubah diam, pasif, dan murung, dengan badan yang juga semakin kurus. 

Reaksi Berbeda

Seperti yang terjadi pada Doni Dan Ayu, perceraian selalu saja merupakan rentetan goncangan-goncangan yang menggoreskan luka batin yang dalam bagi mereka yang terlibat, terutama anak-anak. 

Sekalipun perceraian tersebut dapat diselesaikan dengan baik dan damai Oleh orangtuanya, namun tetap saja menimbulkan masalah bagi anak-anak mereka. Reaksi anak berbeda-beda terhadap perceraian orangtuanya. Semua tergantung pada umur, intensitas serta lamanya konflik yang berlangsung sebelum terjadi perceraian. 
 
Setiap anak menanggung penderitaan dan kesusahan dengan kadar yang berbeda-beda. Anak-anak yang orangtuanya bercerai, terutama yang sudah berusia sekolah atau remaja biasanya merasa ikut bersalah dan bertanggung jawab atas kejadian itu. Mereka juga merasa khawatir terhadap akibat buruk yang akan menimpa mereka.

Bagi anak-anak, perceraian merupakan kehancuran keluarga yang akan mengacaukan kehidupan mereka. Paling tidak perceraian tersebut menyebabkan munculnya rasa cemas terhadap kehidupannya di masa kini dan di masa depan. Anak-anak yang ayah-ibunya bercerai sangat menderita, dan mungkin lebih menderita daripada orangtuanya sendiri. 
 
Akibat Emosional

Dalam suatu perceraian, orangtua mencurahkan seluruh waktu dan uangnya untuk saling bertikai mengenai harta, tunjangan uang yang akan diberikan suami setelah bercerai, hak pemeliharaan anak, dan hak-hak lain.Sementara itu, mereka hanya mencurahkan sedikit waktu atau usaha untuk mengurangi akibat emosional yang menimpa anak-anaknya. Pengacara yang terlibat dalam perceraian tersebut, sesuai tugasnya memang hanya memfokuskan diri pada masalah hukum saja. Biasanya mereka kurang memperhatikan akibat emosional pada diri anak-anak yang jadi Korban dalam peristiwa perceraian tersebut.

Mereka umumnya kurang ikut memikirkan bagaimana memberikan konseling Kepada kliennya, dalam hal ini orangtua yang mau bercerai, tentang cara-cara terbaik dalam membantu anak-anak mengatasi dan menyesuaikan diri dengan situasi yang ada.

Walaupun orangtua telah berusaha menyelesaikan perceraian dengan hati-hati dan damai, tidak Ada cara yang dapat mereka lakukan untuk menghindari akibat negatif terhadap anak-anak. Oleh karena itu, menjadi penting bagi orangtua yang dalam proses Perceraian untuk sebaik mungkin mengambil usaha-usaha khusus untuk Meminimalkan penderitaan dan kesusahan anak-anaknya. Ini membutuhkan perhatian dan usaha aktif dari pihak orangtua.

Sampai Dua Tahun.

Umumnya anak-anak yang orangtuanya bercerai dilanda perasaan-perasaan kehilangan (hilangnya satu anggota keluarga: ayah atau ibunya), gagal, kurang percaya diri, kecewa, marah, dan benci yang amat sangat.

Richard Bugeiski Dan Anthony M. Graziano (1980) menyatakan bahwa dua tahun pertama setelah terjadinya perceraian merupakan masa-masa yang amat sulit bagi anak-anak. Mereka biasanya kehilangan minat untuk pergi dan mengerjakan tugas-tugas sekolah, bersikap bermusuhan, agresif depresi, dan dalam beberapa kasus Ada yang bunuh diri.
 
Anak-anak yang orangtuanya bercerai menampakkan beberapa gejala fisik dan stres akibat perceraian tersebut seperti : 
  • insomnia (sulit tidur), 
  • kehilangan nafsu makan, 
  • dan beberapa penyakit kulit.

Riset menunjukkan, setelah kira-kira dua tahun mengalami masa sulit dengan perceraian orangtuanya, sampailah anak-anak tersebut ke masa keseimbangan atau masa equilibrium. Di masa itu, kesusahan dan penderitaan akut yang mereka alami sejak terjadinya perceraian mulai berkurang.

Anak-anak telah belajar menyesuaikan diri dan melanjutkan kehidupan mereka. Namun, perceraian orangtua tetap menorehkan luka batin yang menyakitkan bagi mereka. Selain beberapa dampak di atas, dalam beberapa kasus terjadi anak yang orangtuanya bercerai, pada saat dewasa, menjadi takut untuk menikah.

Dia khawatir perkawinannya nanti akan mengalami nasib yang sama seperti orangtuanya.
Kasus yang lain, anak yang orangtuanya bercerai, pada saat dewasa jadi membenci laki-laki atau perempuan karena menganggapnya sama dengan ayah atau ibunya yang telah menghancurkan keluarganya.


Yang Perlu Dilakukan.

Sangat sulit menemukan cara agar anak-anak merasa terbantu dalam menghadapi masa-masa sulit karena perceraian orangtuanya. Sekalipun ayah atau ibu berusaha memberikan yang terbaik yang mereka bisa, segala yang baik tersebut tetap tidak dapat menghilangkan kegundahan hati anak-anaknya.

Beberapa psikolog menyatakan bahwa bantuan yang paling penting yang dapat diberikan oleh orangtua yang bercerai adalah mencoba menenteramkan hati dan meyakinkan anak-anak bahwa mereka tidak bersalah. Yakinkan bahwa mereka tidak perlu merasa harus ikut bertanggung jawab atas perceraian orangtuanya.

Hal lain yang perlu dilakukan oleh orangtua yang akan bercerai adalah membantu anak-anak untuk menyesuaikan diri dengan tetap menjalankan kegiatan-kegiatan rutin di rumah. Jangan memaksa anak-anak untuk memihak salah satu pihak yang sedang cekcok serta jangan sekali-sekali melibatkan mereka dalam proses perceraian tersebut.

Hal lain yang dapat membantu anak-anak adalah mencarikan orang dewasa lain seperti tante atau paman, yang untuk sementara dapat mengisi kekosongan hati mereka setelah ditinggal ayah atau ibunya. Maksudnya, supaya anak-anak merasa mendapatkan topangan yang memperkuat mereka dalam mencari figur pengganti ayah ibu yang tidak lagi hadir seperti
ketika belum ada perceraian.


Oleh: M.M. Nilam Widyarini, MSi, Dosen Psikologi
hitsuke.blogspot.com

Mitos dan Fakta Tentang "CINTA"

Berbagai mitos tentang cinta telah beredar selama berabad-abad. Namun tak semua mitos tersebut benar. Berikut beberapa mitos yang ada serta faktanya.
  • Mitos : Cinta saja sudah cukup sebagai dasar berhubungan 
  • Fakta : Dalam memilih pasangan, banyak orang yang mengedepankan perasaan cinta yang menggebu-gebu. Hal itu tidak salah, namun saat ingin menjalin hubungan yang lebih serius misalnya pernikahan, sekadar perasaan cinta yang menggebu saja tidak cukup. Layaknya tanaman, cinta pun membutuhkan nutrisi untuk menjaganya tetap hidup. Kepercayaan, toleransi, intimasi serta komitmen adalah nutrisi utama bagi perasaan cinta. Jika Anda hanya merasakan cinta, tanpa diikuti oleh nutrisinya, maka dapat dipastikan, perasaan itu tak akan bertahan lama.
  • Mitos : Cinta tak perlu dipelajari
  • Fakta : Cinta juga perlu dipelajari. Jika Anda menganggap cinta saja sudah cukup, maka secara otomatis Anda dan pasangan tak akan pernah belajar untukberkomunikasi dan menyelesaikan masalah. padahal, sebesar apapun cinta Anda, kerikil dalam hubungan tak akan bisa dihindari. Namun ketika badai dahsyat yang menguji cinta Anda bisa dilewati, maka ikatan Anda dan pasangan makin kuat. Oleh karena itu, jangan jadikan perasaan cinta Anda alasan untuk berhenti belajar dan mengenal pasangan lebih dalam.
  • Mitos : Pasangan tak akan berubah sampai kapanpun
  • Fakta : Setiap orang akan mengalami perubahan seiring berjalannya waktu. Dulu si dia sering menulis puisi bagi Anda, namun kini, SMS romantis pun tak pernah ada. Anda tak bisa menahan perubahan tersebut. Yang bisa Anda lakukan adalah menyesuaikan diri dengan perubahan yang ada maka Anda akan berbahagia. Lagipula, apakah cinta si dia hanya bisa dibuktikan lewat puisi-puisinya saja?
  • Mitos : Pasangan sempurna akan membuat Anda bahagia
  • Fakta : Tak ada seorangpun yang sempurna. Seperti kata pepatah, jangan menghabiskan waktu Anda untuk mencari orang yang sempurna. Tapi carilah seseorang yang bisa menyempurnakan kehidupan Anda. Si dia mungkin tak seganteng Brad Pitt, tak sekaya Donald Trump dan rambutnya tak setebal Sharuk Khan. Tapi kesabarannya dapat membuat hati Anda tenang setiap saat. Itulah pasangan yang 'sempurna'.
  • Mitos : Pernikahan adalah prestasi
  • Fakta : Jangan pernah terganggu dengan status sahabat yang sudah menikah. Menikah bukan prestasi. Memiliki suami bukan berarti Anda memiliki kelebihan dari wanita lain. Ketimbang putus asa karena status single, lebih baik buka pikiran Anda menjadi lebih positif. Aura dan emosi positif justru akan membuat Anda semakin menarik. Dan jika saatnya tepat, seorang 'pangeran' akan datang dan meminang Anda.
Selamat berbahagia.

Sunday, November 6, 2011

hitsuke.blogspot.com

Being a Parent

Banyak dari kita yang mengaku sudah siap menikah dengan berbagai alasan, mulai dari karena sudah bekerja sehingga menganggap diri siap untuk menikah, sampai yang emang mengaku siap menikah karena emang udah keburu umur (^_^) dan ada juga karena emang pengen banget menikah sehingga dia yakin udah siap nikah....

ehmmm kenapa kali ini kita ngomongin nikah ya?
Semua berawal dari pembicaraan dengan beberapa orang teman dan beberapa orang "mantan penggemar" yang akhirnya memilih orang lain untuk menikah karena setiap kali di tanya diriku selalu menjawab "belum siap" (^_^) PeDe. 

Seperti biasa sebagai konselator  yang baik hati dan tidak sombong juga rajin menabung yang selalu menjadi curahan hati para pasien cinta (halah_) diriku selalu dimintai tolong dan salah satunya adalah dimintai tolong menjadi MC. - tau dunk jadi mc, itu lho disuatu acara yang jadi bawa acara- bukan, bukan MC itu tapi MC sebagai Mak Comblang. Nah si pasien ini mempercayakan urusan percintaannya ditangan dokternya ini. Akhirnya beberapa pertanyaan yang berhubungan dengan tanggung jawab yang selalu si pasien lontarkan tiap kali curhat pun terlontarkan.... tapi setelah beberapa kali dialog ternyata yang ada malah kesel, soalnya tu pasien bukannya terlihat kesiapannya malah keliatan ga jelasnya.... ps : buat yang ngerasa jadi objek maaf ya.... ^_^

Nah itulah kesiapan untuk menikah bukanlah sebuah pengakuan semata namun terlihat dari sebuah sikap dan penerimaan terhadap calon pasangan dan ini yang tidak dimiliki oleh banyak pihak. Sering kali terdengar kalimat, "kalo dengan yang itu ga mau ah" atau "amun dengan yang itu ulun hakun ae ka ae" tapi tidak sedikit juga yang siap menikah sehingga dengan yang mana pun asal bukan kakinya empat, tetap setuju.

Namun tidak sedikit juga kesiapan menikah dengan berbagai alasannya -mulai dari terlanjur cinta, kelamaan pacaran, dikejar umur, udah mapan, ingin tinggal serumah dengan orang yang dicintai, dlll- tidak dibarengi dengan kesiapan menjadi orang tua.

Menjadi orang tua, berbeda dengan menjadi pasangan (baca: suami-istri). Menjadi orang tua tidak sekedar siap secara materi dan fisik tapi juga secara ilmu. Karena tidaklah gampang menjadi orang tua, disaat orang tertidur lelap kita harus bangun untuk menyusui, ganti popok bahkan nemenin main. Disaat orang lain mengejar karir kita harus berbagi karena sikecil sakit, dan harus ekstra mendidik dan memberi contoh --nah ga bisa lagi tu ngomong sembarangan, dan bersikap sembarangan, langsung ditiru. Hal seperti inilah yang harus diperhitungkan oleh banyak orang yang memutuskan being a parent.

Mendidik anak tidak lah semudah akad nikah yang selesai dalam waktu 15 menit, bahkan 15 tahun pun bukan waktu yang cukup sehingga membuat kita menjadi ahli, anak memerlukan lebih dari sekedar biaya dan perawatan yang tinggi, tapi juga pengorbanan yang tinggi. Kita tidak lagi bisa egois, sebelumnya pulang kerja tanpa ganti baju langsung berbaring sepatu, tas diletakkan disembarang tempat, tidur sampai siang, mandi malas-malasan, sholat diakhir waktu, trus anak dititip sama pengasuh (mulai dari pengasuh beneran sampe pengasuh berupa kakek/nenek) belum lagi urusan makannya --diserahkan pada hal instan... wah dijamin dah tuw anak ga jauh sama prilaku ortunya. Meski sepele justru hal seperti ini yang banyak dilalaikan oleh para pasangan. --kebayang ga gimana generasi mendatang--

Mendidik anak dalam islam adalah hal besar yang bagi pelaksanannya diganjar dengan pahala yang besar. kenapa? karena anak adalah generasi yang akan meneruskan kejayaan atau juga kehancuran suatu kaum hadist rasul "anak dilahirkan dalam keadaan fitri/suci, orang tualah yang menjadikan nya nasrani, yahudi atau majusi". Itu artinya orang tualah yang akan bertanggung jawab pertama kali terhadap pembentukan si anak. Jadi jangan heran kalo ntar di akhirat banyak orang tua yang terganjal karena anak, dan banyak juga -ingat diakhirat ntar orangnya ada banyak- yang tertolong karena anak.

soooooo.... pertanyaan berikutnya adalah, sudahkah kita siap menjadi orang tua? bukan sekedar menjadi pasangan hidup yang menyenangkan bagi pasangan kita? Bertanggung jawab terhadap pertumbuhan seorang anak/manusia dan bertanggung jawab terhadap keberlangsungan agama Allah? jawabnya silakan direnungkan sendiri......