Tuesday, June 23, 2015

hitsuke.blogspot.com

Siap Naik Tapi tidak Siap Turun

Kira-kira sebulan yang lalu, tepatnya 16 Mei 2015 hampir semua media memberitakan jatuhnya seorang mahasiswa pecinta alam ke kawah merapi. Mari kita tundukan kepala barang sejenak, seraya berdoa, semoga almarhum Erry Yunanto, mahasiswa pecinta alam yang jatuh ke kawah garuda dilapangkan dikuburnya, diampuni dosanya, dan semoga keluarga yang ditinggalkan diberi kekuatan oleh Allah SWT, untuk menghadapi cobaan ini. 
Adakah yang hikmah atau pelajaran yang dapat kita ambil dari peristiwa tersebut?
Erry Yunanto, seorang mahasiswa semester 6, umur 21 tahun, mencoba naik ke puncak garuda, sebuah tonjolan batu setinggi 8 meteran, tepat di puncak gunung merapi. Sementara dibawahnya menganga jurang kawah gunung sedalam 150–200 meter (gbr 1). Dia naik keatas tanpa kesulitan berarti, hanya berbekal air minum, lalu diambil beberapa foto oleh teman seperjalanannya (gbr 2) .
Saat turun dia agak ragu, bahkan meminta temannya untuk berjaga, dan “menangkapnya” jika turun kebablasan. Lalu peristiwa itu terjadi begitu cepat. Dia tergelincir ke arah kanan batuan, dan terjun bebas sejauh 150 meter ke dasar kawah gunung. Didasar temperatur bisa berkisar dari 30 – 50 derajat celcius, dan dipenuhi asap belerang yang berbahaya.
Salut bagi team SAR Jogya, yang berhasil mengangkat korban dengan metoda, peralatan dan personil vertikal rescue  ( gbr 3 ). Sehingga korban bisa diserahkan kepada keluarga dan dikuburkan secara layak. Setelah sebelumnya di buat visum, bahwa kematian korban disebabkan luka pada kepala, perut dan patah kaki akibat benturan dengan benda padat. Begitu kira-kira kronologisnya yang termuat di beberapa media.
Tak ingin berandai-andai karena mungkin semua ini sudah "Takdir", dari foto 2, nampak bahwa korban memang ber “tangan kosong” alias tanpa peralatan apapun juga. Demikian pula dari cerita teman seperjalanannya, bahwa korban SIAP untuk NAIK TEBING. Namun TIDAK SIAP untuk TURUN TEBING, dengan tangan kosong, alias tanpa bantuan alat sama sekali.
Turun tebing dengan tangan kosong, tanpa alat, bahkan tidak pernah saya temukan teori dan prakteknya sejak jaman dulu. Saat pertama melihat klub pecinta alam semasa SMU dahulu belajar manjat di tebing 48 meter kira-kira tahun 2000an. Yang ada adalah naik dengan tangan kosong, atau free-climbing. Sementara untuk turun, tetap saja harus pake alat. Dari yang canggih pake full body harnes dengan figur-eight atau descender. Atau yang paling sederhana. Hanya butuh seutas tali, dengan metoda “hasty”. Dililitkan pada kedua ketiak, tangan kiri mengatur arah tali, tangan kanan berfungsi sebagai rem. Bisa tali kernmantle yang mahal, atau sekedar tali dadung yang murah meriah.
Naik dengan tangan kosong sekalipun lebih mudah, alasannya sederhana, yaitu karena pegangan dan pijakan, tepat ada didepan mata, sehingga mudah untuk dipilih dan dijangkau. Sementara turun, jadi lain ceritanya. Jika badan menghadap ke dinding, maka pijakan kaki akan sulit untuk dipilih, bahkan kadang sekedar untuk dilihat, karena terhalang oleh badan. Jika badan memunggungi dinding, bahayanya adalah pegangan jari jemari menjadi lemah. Sedangkan gaya “duduk” hanya bisa dilakukan pada kemiringan tertentu, dan tersedia cukup banyak pegangan kokoh, seperti pohon, akar, dsb.
Kesimpulannya, korban bukan seorang pendaki gunung yang terlatih. Bukan anggota kelompok Pecinta Alam yang terdidik. Melainkan dari komunitas back-packer. Sebuah komunitas yang mengandalkan pada kepemilikan peralatan mendaki, ditambah semangat untuk selfie, yang sengaja atau tidak, suka atau tidak melakukan “skip level”. Melompati tahap kronologis pendidikan dan pelatihan dasar, serta pembinaan lanjutannya.
Dihubungkan dengan analisa, karena saya sangat senang menghubung-hubungkan suatu peristiwa dengan logika, yang dibutuhkan oleh kasus aksiden adalah “force-mayeure”, sebuah kejadian yang tak disangka sangka. Mirip dengan bencana tsunami Aceh. Sementara insiden hanya membutuhkan satu kata juga, yaitu “pengabaian”. Mirip dengan tsunami sampah di Leuwi Gajah tempo hari, yang menelan lebih dari 140 nyawa manusia.
Jika yang muncul aksiden, biasanya orang hanya berkata …ah kasihan betul. Lalu mediapun menyorotinya dengan sorot mata penuh welas asih. Sebaliknya jika yang terjadi adalah insiden, keadaan berbalik, semua orang mengutuk dan menyumpah-nyumpah, dan media massa pun akan menelanjangi dan membantainya tanpa belas kasihan.
Dari semua pemberitaan, segera nampak bahwa ini adalah aksiden, sebuah kecelakaan di gunung titik. Tak ada nada sumbang, tak ada kritik, bahkan semua prihatin. Dari Bupati Sleman sampai rektorat. Sepertinya semua menjadi sah, dan berhenti hanya sampai kata “yaah sudah takdirnya”. Jadi beruntunglah kaum komunitas back-packer ini, setidaknya bebas hujatan. Sekalipun kita juga tahu persis, team vertikal rescue, justru datang dari kelompok pendaki gunung dan pecinta alam yang sudah terlatih .
Saya hanya merasa aneh, saat seseorang pergi ke gunung hanya dengan mengandalkan punya ransel dan sepatu gunung (walaupun dahulu saya pernah melakukannya :p). Sementara dia MENGABAIKAN kebutuhan pendidikan dan latihan dasar dianggap sebagai aksiden. Padahal hal ini sangat teramat nyata, terjadi dimana mana, bahwa ini adalah INSIDEN. 
Ironinya …..
Jika kecelakaan dan kematian itu datang dari kelompok Pendaki Gunung dan Pecinta Alam, baik saat pendidikan atau pengembaraan. Maka opsi aksiden seolah tertutup, tidak boleh ada kasus force-mayeure. Ini adalah harus INSIDEN, dan jajaran kolat ( komando latihan ) tak ayal dicap sebagai serigala haus darah yang membunuh seolah menjadi tujuannya. Media massa berubah garang, polisi menciduk para instruktur, dan kematian pembekuan organisasi berdentang di mana-mana, di tingkat SLTA sampai perguruan tinggi. 
Jadi tak aneh, jika sekarang , banyak orang naik gunung, selfie disana, masuk medsos, menjadi terkenal, dengan modal uang dan perlengkapan. Cukup masuk kelompok back-packer. Karena apapun yang terjadi, mereka akan senantiasa masuk kasus AKSIDEN, yang dimanja. Mulai bikin sampah di gunung sampai matinya pun tetap saja aksiden, sebuah kecelakaan … titik. Sementara para pecinta alam dan tim SAR yang sering kena getahnya, yang sering mempertaruhkan nyawa untuk menyelamatkan mereka. Yang membersihkan gunung dari sampah sampah mereka, tetap saja masuk grup INSIDEN yang patut untuk dicerca, dibekukan dan dihukum, bahkan jika sesuatu yang diluar dugaan terjadi.
Bagi saya pribadi setidaknya , akan berlaku hukum dua arah …..
Jika para pengambil kebijakan, termasuk media massa, melakukan pengabaian, maka itu juga menjadi sebuah insiden. Lalu sudah menjadi hak kami untuk mengatakan yang sebenar benarnya, sekalipun akan sangat menyakitkan….

~~Di sadur dan dirangkum dari beberapa media~~

No comments: