Kehadiran UU Nomor 21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja menjadi
awal revolusi kebangkitan pekerja di Indonesia. Mendengar kata serikat pekerja,
mungkin yang ada dalam bayangan kita adalah butuh-buruh pabrik yang berdemo
memperjuangkan hak-hak mereka, menuntut kenaikan upah minimum.
Serikat Pekerja dimasa modern ini lebih sedikit
menunjukkan posisi yang lebih elegan di mata hukum. Karena Serikat Pekerja
tidak hanya berbicara bagaimana buruh pabrik memperjuangkan hak-hak mereka akan
tetapi Serikat Pekerja semakin cerdas memperjuangkan hak-hak pekerja
dengan ilmu, dialog dan media yang cerdas. Kekuatan Serikat pekerja itu
kuat dan sangat kuat bahkan di mata hukum. Pekerja yang sudah di dalam anggota
akan bisa memperjuangkan hak-hak mereka sesuai dengan hukum Undang-Undang Ketenagakerjaan
Nomor 13 Tahun 2003.
Ketakutan yang terbesar dari sebuah perusahaan adalah ketika
permainan mulus mereka mempekerjakan karyawan dengan seenaknya mereka tapi terbentur
dengan UU ini. Mulai dari upah di bawah UMR, tidak memberikan jaminan kesehatan,
memberikan lembur yang tidak layak bayar, bahkan ada beberapa perusahan yang
mengharuskan mempekerjakan karyawannya bekerja melebih jam yang telah
ditetapkan bedasarkan undang-undang yang berlaku dengan alih-alih loyalitas. Ketakutan
ini berlanjut ketika semua harus diproses oleh pihak terkait ketika semua tidak
sesuai aturan. Maka tidak heran kita sering mendengarkan banyak sebagian
perusahaan pimpinannya menghalang-halangi pembentukan serikat pekerja.
Ini hanya sebagai contoh saja, sebenarnya tidak ada masalah
antara saya dengan perguruan tinggi tempat saya bekerja. Saya bekerja kurang
lebih 2,5 tahun di perguruan tinggi tersebut. Suatu periode yang tergolong
cukup ‘nyaman’ dan menunjukkan keadaan yang baik-baik saja dengan manajemen Yayasan
perguruan tinggi tersebut.
Sebenarnya ketika masa kerja saya tepat satu tahun, sudah tercium bau-bau tidak sedap dari manajemen Yayasan dalam hal
bagaimana mereka mengelola perguruan tinggi ini. Karena ini Yayasan maka
otonomi mereka sangat tidak terbatas. Namun ternyata mereka terlalu jauh
mendefiniskan otonomi ini sehingga masalah ketenagakerjaan juga mereka anggap
adalah urusan pihak Yayasan. Tapi begitulah kenyataan di lapangan ketika
menghadapi Yayasan yang egois dengan sebuah kepemilikannya sendiri sehingga
seolah-olah mereka mempunyai kekuasaan tidak terbatas.
Memang dari dulu saya masih belum begitu yakin ketika sebuah
Yayasan bergerak dalam dunia pendidikan. Mana ada sekarang Yayasan yang
benar-benar pure sosial membantu
mencerdaskan anak bangsa. Kalau sudah mempertimbangkan profit untuk sebuah pendidikan maka sudah bisa dibayangkan sendiri,
apa yang terjadi. Pendidikan tidak lagi berbicara bagaimana menciptakan
generasi penerus bangsa akan tetapi bagaimana menciptakan kuantitas jumlah peserta
didik untuk profit semata.
Beginilah salah satu wajah pendidikan Indonesia. Rugi
rasanya kita berkoar-koar selama ini memperjuangkan pendidikan agar
lebih bagus lagi ketika di lapangan masih saja kita tidak bisa berbuat apa-apa
ketika keanehan terjadi. Perguruan tinggi sudah menjadi lahan untuk mencari
laba sebanyak-banyaknya bagi sebagian pemilik Yayasan. Sebanyak mungkin mereka
menerima mahasiswa. Tapi apakah mereka memikirkan kualitas dosennya. Dan apakah
dosen dan tenaga kependidikan yang dipekerjakan juga benar-benar sudah
sejahtera? Jangan-jangan masih dibawah UMK semua. Jangan-jangan ekpolitasi
modern sudah mulai ada yaitu mengeksploitasi keilmuan dosen-dosen yang sudah
menghabiskan ratusan juta sekolah tapi hanya dibayar sebungkus nasi kotak.
Berbicara upah untuk seorang dosen saya sendiri akan sedikit
tutup telinga, anggap saja tidak tahu dan mau tahu. Mempermasalahkan upah dosen
Yayasan maka itu akan berujung dengan
kekecewaan dan rasa sakit hati. Begitu pula dengan tenaga kependidikan yang
notabene memengang peranan penting dalam keberlangsungan operasional perguruan
tinggi tersebut.
Apakah dosen dan tenaga kependidikan yang bekerja pernah
memegang uang segepok seperti dosen dan tenaga kependidikan perguruan tinggi
negeri dapatkan setiap bulan? Beban
kerja sama bahkan lebih banyak tapi kenapa isi kantong berbeda? Hak seseorang
terbedakan akibat nasib yang tidak mendukungnya.
Yayasan sekarang sudah keras hati. Hampir semua Yayasan yang
bergerak di bidang pendidikan tidak pernah ikhlas memberikan upah kepada dosen
dan tenaga kependidikan yang telah berhasil menaikkan pamor universitas mereka.
Pamor universitas didapatkan secara otentik oleh akreditasi dari BAN-PT. Mereka
lebih senang menghabiskan pikiran mereka memikirkan berapa banyak omset Yayasan
mereka dari mahasiswa yang masuk.
Apa yang terjadi apabila dosen yang mengajar di tempat
mereka mogok semua? Apa yang terjadi apabila tenaga kependidikan tidak
melaksanakan pekerjaannya secara maksimal karena saling cemburu? Apakah Yayasan
tersebut akan senyam senyum duduk santai sambil mengipas hasil uang spp
mahasiswa? Siapapun akan mengatakan TIDAK. Tapi, mengapa sering sekali kita
dengar cerita-cerita miris ketika dosen maupun tenaga kependidikan hanya
dibayar hanya cukup untuk membeli pulsa dan bensin setiap bulannya. Apakah
salah ketika dosen sebagaitenaga pendidik dan kependidikan berkolaborasi membentuk serikat pekerja
untuk memperjuangkan hak-hak normatif mereka?
Disinilah bentuk ketakutan Yayasan ketika serikat pekerja
mempunyai kekuatan yang sama seperti mereka. Tapi jangan senang dulu, ketika dosen
dan tenaga kependidikan cukup berani membentuk Serikat pekerja, yang harus kita
persiapkan sebagai dosen dan tenaga kependidikan hanya 2 hal kemungkinan; di
pecat atau di naikkan jabatan. Sepertinya dan sudah pasti kemungkinan
kedualah yang bakal terjadi, karena Yayasan takut. Yayasan tidak suka dengan
orang yang sok hebat menjadi pahlawan di siang bolong hanya untuk mengganggu
aktifitas mereka meraup uang dari mahasiswa dari jalan-jalan yang tidak benar. Yayasan
tidak mau tahu apakah dosen dan staff sejahtera
atau tidak. Yayasan tidak ambil pusing ketika karyawannya harus bekerja
lembur yang tidak dibayar. Kata mereka simpel saja “kalau tidak mau kerja lagi,
keluar saja”.
Serikat pekerja bukan pemberontak tapi sebagai mitra penguasaha
dalam menjalankan usahanya. Kenapa sepertinya pengusaha sangat benci dengan
kehadiran serikat pekerja di tempat mereka? Secara logika kita akan
menyimpulkan adalah pengusaha yang salah akan sangat alergi menerima kehadiran
serikat pekerja. Betapa tidak, serikat pekerja bisa menuntut hak-hak normatif
mereka jika tidak sesuai dengan undang-undang. Kejadian ini yang tidak mau
dialami oleh pihak Yayasan.
Perlu tidak dosen atau tenaga kependidikan membentuk Serikat
Pekerja? Pertanyaan ini mungkin akan sedikit terkhususkan untuk dosen atau
staff tenaga kependidikan Yayasan yang tidak mempunyai penghasilan sampingan
setiap bulan.
Perguruan tinggi mempunyai pengembangan konsep Tridharma Perguruan
Tinggi yang khusus pada bidang pengembangan pendidikan, penelitian, dan
pengabdian masyarakat. Bagaimana bisa dosen mengajar dengan maksimal ketika disaat
yang sama dia harus memikirkan keluarganya mau makan apa besok hari?
Tapi saya bisa apa untuk merubah itu semua. Saya
seorang staff biasa yang hanya bisa diam saja melihat Yayasan meraup untung kebanjiran
mahasiswa, sedangkan dosen dan tenaga kependidikan perlu bekerja extra untuk tetap mempertahankan
reputasi Perguruan Tinggi. Saya selama ini diam saja karena secara tidak
langsung telah menjadi bagian orang-orang yang melihat kedhaliman, penindasan
hak. Kapan saya akan mengakhiri keadaan sebagai
penonton? Biar waktu menjelaskan semuanya.