Sunday, January 17, 2016

hitsuke.blogspot.com

Perlukah Serikat Pekerja Dosen dan Tenaga Kependidikan?



Kehadiran UU Nomor 21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja menjadi awal revolusi kebangkitan pekerja di Indonesia. Mendengar kata serikat pekerja, mungkin yang ada dalam bayangan kita adalah butuh-buruh pabrik yang berdemo memperjuangkan hak-hak mereka, menuntut kenaikan upah minimum.
Serikat  Pekerja dimasa modern ini lebih sedikit menunjukkan posisi yang lebih elegan di mata hukum. Karena Serikat  Pekerja tidak hanya berbicara bagaimana buruh pabrik memperjuangkan hak-hak mereka akan tetapi Serikat  Pekerja semakin cerdas memperjuangkan hak-hak pekerja dengan ilmu, dialog dan media yang cerdas.  Kekuatan Serikat pekerja itu kuat dan sangat kuat bahkan di mata hukum. Pekerja yang sudah di dalam anggota akan bisa memperjuangkan hak-hak mereka sesuai dengan hukum Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003. 
Ketakutan yang terbesar dari sebuah perusahaan adalah ketika permainan mulus mereka mempekerjakan karyawan dengan seenaknya mereka tapi terbentur dengan UU ini. Mulai dari upah di bawah UMR, tidak memberikan jaminan kesehatan, memberikan lembur yang tidak layak bayar, bahkan ada beberapa perusahan yang mengharuskan mempekerjakan karyawannya bekerja melebih jam yang telah ditetapkan bedasarkan undang-undang yang berlaku dengan alih-alih loyalitas. Ketakutan ini berlanjut ketika semua harus diproses oleh pihak terkait ketika semua tidak sesuai aturan. Maka tidak heran kita sering mendengarkan banyak sebagian perusahaan pimpinannya menghalang-halangi pembentukan serikat pekerja.
Ini hanya sebagai contoh saja, sebenarnya tidak ada masalah antara saya dengan perguruan tinggi tempat saya bekerja. Saya bekerja kurang lebih 2,5 tahun di perguruan tinggi tersebut. Suatu periode yang tergolong cukup ‘nyaman’ dan menunjukkan keadaan yang baik-baik saja dengan manajemen Yayasan perguruan tinggi tersebut.
Sebenarnya ketika masa kerja saya tepat satu tahun, sudah tercium bau-bau tidak sedap dari manajemen Yayasan dalam hal bagaimana mereka mengelola perguruan tinggi ini. Karena ini Yayasan maka otonomi mereka sangat tidak terbatas. Namun ternyata mereka terlalu jauh mendefiniskan otonomi ini sehingga masalah ketenagakerjaan juga mereka anggap adalah urusan pihak Yayasan. Tapi begitulah kenyataan di lapangan ketika menghadapi Yayasan yang egois dengan sebuah kepemilikannya sendiri sehingga seolah-olah mereka mempunyai kekuasaan tidak terbatas. 
Memang dari dulu saya masih belum begitu yakin ketika sebuah Yayasan bergerak dalam dunia pendidikan. Mana ada sekarang Yayasan yang benar-benar pure sosial membantu mencerdaskan anak bangsa. Kalau sudah mempertimbangkan profit untuk sebuah pendidikan maka sudah bisa dibayangkan sendiri, apa yang terjadi. Pendidikan tidak lagi berbicara bagaimana menciptakan generasi penerus bangsa akan tetapi bagaimana menciptakan kuantitas jumlah peserta didik untuk profit semata. 
Beginilah salah satu wajah pendidikan Indonesia. Rugi  rasanya kita berkoar-koar selama ini memperjuangkan pendidikan  agar lebih bagus lagi ketika di lapangan masih saja kita tidak bisa berbuat apa-apa ketika keanehan terjadi. Perguruan tinggi sudah menjadi lahan untuk mencari laba sebanyak-banyaknya bagi sebagian pemilik Yayasan. Sebanyak mungkin mereka menerima mahasiswa. Tapi apakah mereka memikirkan kualitas dosennya. Dan apakah dosen dan tenaga kependidikan yang dipekerjakan juga benar-benar sudah sejahtera? Jangan-jangan masih dibawah UMK semua. Jangan-jangan ekpolitasi modern sudah mulai ada yaitu mengeksploitasi keilmuan dosen-dosen yang sudah menghabiskan ratusan juta sekolah tapi hanya dibayar sebungkus nasi kotak. 
Berbicara upah untuk seorang dosen saya sendiri akan sedikit tutup telinga, anggap saja tidak tahu dan mau tahu. Mempermasalahkan upah dosen Yayasan  maka itu akan berujung dengan kekecewaan dan rasa sakit hati. Begitu pula dengan tenaga kependidikan yang notabene memengang peranan penting dalam keberlangsungan operasional perguruan tinggi tersebut.  
Apakah dosen dan tenaga kependidikan yang bekerja pernah memegang uang segepok seperti dosen dan tenaga kependidikan perguruan tinggi negeri dapatkan  setiap bulan? Beban kerja sama bahkan lebih banyak tapi kenapa isi kantong berbeda? Hak seseorang terbedakan akibat nasib yang tidak mendukungnya. 
Yayasan sekarang sudah keras hati. Hampir semua Yayasan yang bergerak di bidang pendidikan tidak pernah ikhlas memberikan upah kepada dosen dan tenaga kependidikan yang telah berhasil menaikkan pamor universitas mereka. Pamor universitas didapatkan secara otentik oleh akreditasi dari BAN-PT. Mereka lebih senang menghabiskan pikiran mereka memikirkan berapa banyak omset Yayasan mereka dari mahasiswa yang masuk.
Apa yang terjadi apabila dosen yang mengajar di tempat mereka mogok semua? Apa yang terjadi apabila tenaga kependidikan tidak melaksanakan pekerjaannya secara maksimal karena saling cemburu? Apakah Yayasan tersebut akan senyam senyum duduk santai sambil mengipas hasil uang spp mahasiswa? Siapapun akan mengatakan TIDAK. Tapi, mengapa sering sekali kita dengar cerita-cerita miris ketika dosen maupun tenaga kependidikan hanya dibayar hanya cukup untuk membeli pulsa dan bensin setiap bulannya. Apakah salah ketika dosen sebagaitenaga pendidik dan kependidikan berkolaborasi membentuk serikat pekerja untuk memperjuangkan hak-hak normatif mereka?
Disinilah bentuk ketakutan Yayasan ketika serikat pekerja mempunyai kekuatan yang sama seperti mereka. Tapi jangan senang dulu, ketika dosen dan tenaga kependidikan cukup berani membentuk Serikat pekerja, yang harus kita persiapkan sebagai dosen dan tenaga kependidikan hanya 2 hal kemungkinan; di pecat atau di naikkan jabatan.  Sepertinya dan sudah pasti kemungkinan kedualah yang bakal terjadi, karena Yayasan takut. Yayasan tidak suka dengan orang yang sok hebat menjadi pahlawan di siang bolong hanya untuk mengganggu aktifitas mereka meraup uang dari mahasiswa dari jalan-jalan yang tidak benar. Yayasan tidak mau tahu apakah dosen dan staff  sejahtera atau tidak. Yayasan tidak ambil pusing ketika  karyawannya harus bekerja lembur yang tidak dibayar. Kata mereka simpel saja “kalau tidak mau kerja lagi, keluar saja”.
Serikat pekerja bukan pemberontak tapi sebagai mitra penguasaha dalam menjalankan usahanya. Kenapa sepertinya pengusaha sangat benci dengan kehadiran serikat pekerja di tempat mereka? Secara logika kita akan menyimpulkan adalah pengusaha yang salah akan sangat alergi menerima kehadiran serikat pekerja. Betapa tidak, serikat pekerja bisa menuntut hak-hak normatif mereka jika tidak sesuai dengan undang-undang. Kejadian ini yang tidak mau dialami oleh pihak Yayasan.
Perlu tidak dosen atau tenaga kependidikan membentuk Serikat Pekerja? Pertanyaan ini mungkin akan sedikit terkhususkan untuk dosen atau staff tenaga kependidikan Yayasan yang tidak mempunyai penghasilan sampingan setiap bulan.
Perguruan tinggi mempunyai pengembangan konsep Tridharma Perguruan Tinggi yang khusus pada bidang pengembangan pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat. Bagaimana bisa dosen mengajar dengan maksimal ketika disaat yang sama dia harus memikirkan keluarganya mau makan apa besok hari? 
          Tapi  saya bisa apa untuk merubah itu semua. Saya seorang staff biasa yang hanya bisa diam saja melihat Yayasan meraup untung kebanjiran mahasiswa, sedangkan dosen dan tenaga kependidikan perlu bekerja extra untuk tetap mempertahankan reputasi Perguruan Tinggi. Saya selama ini diam saja karena secara tidak langsung telah menjadi bagian orang-orang yang melihat kedhaliman, penindasan hak.  Kapan saya akan mengakhiri keadaan sebagai penonton? Biar waktu menjelaskan semuanya.

1 comment:

ricesega said...

http://www.michaelgumelar.blogspot.co.id/2016/01/sdi-proteksi-dosen-terhadap-potensi.html?m=1