Kebaikan yang didapati saat resign sebelum dapat pekerjaan pengganti
Teman / Kerabat (TK): Hey, katanya kamu resign? Emang habis ini mau kemana?
Saya (S) : Hehehe...... Iya nih, belum tahu mau kemana. Belum mulai apply-apply lagi. Ada Tawaran?
T : Ngajar aja rak wes, jadi Dosen.
K : Serius? Terus kenapa resign kalau belum dapat pengganti? Mendingan nunggu dulu aja sambil nyari-nyari. Lagian disitu kan sudah enak, ngapain resign segala.
Bagi penganut paham "yang pasti-pasti saja" mungkin penggalan percakapan di atas sangat asing dan tidak pernah dialami. Namun bagi yang mengikuti prinsip "yang penting RESIGN dulu, lain-lain pikir keri alias dipikir nanti belakangan" tentunya
situasi tersebut sangat familier. Ditambah lagi jika Kita resign pas
sebulan atau dua bulan mendekati lebaran. Pasti akan tambah pernyataan,
"kenapa nggak habis lebaran aja, biar dapat THR dulu"
Saya
kebetulan termasuk yang golongan kedua. Banyak orang terdekat heran dan
terlongo heran saat Saya bilang belum punya pekerjaan lain. Padahal ini
bukan kali pertama Saya RESIGN sebelum dapat pekerjaan pengganti.
Tetapi memang ini pekerjaan terlama Saya dengan posisi dan jobdisk yang
lumayan membuat orang tidak percaya Saya BISA dengan mudah memutuskan
RESIGN sebelum dapat pekerjaan pengganti. Mungkin herannya orang
terdekat sama dengan heran Saya yang sering bertanya-tanya tentang
konsep jodoh kali ya. "KOK BISA?"
Banyak tanggapan pro dan
kontra Saya terima saat akhirnya Saya memutuskan untuk TETAP RESIGN
meski belum menemukan pekerjaan pengganti. Ada yang pura-pura takjub
mengagumi keberanian (atau kenekatan?) Saya. Ada pula yang menganggap
Saya gegabah, sombong, pongah, mudah menyerah dan bodoh. (Magister lho,
dianggap bodoh hehehe....). Tak jarang mereka menyelipkan beberapa
nasehat bahwa lelah dan jenuh dengan pekerjaan itu hal biasa, bergesekan
dengan teman kerja itu hal biasa. Tidak seharusnya sampai membuat Saya
nekat keluar tanpa rencana yang matang.
RESIGN tanpa pekerjaan
pengganti memang penuh resiko. Jujur saja, predikat PENGANGGURAN itu
memang menyeramkan. Apalagi Saya tidak tahu kapan akan kembali mendapat
pekerjaan. Memang sebelum RESIGN sudah ada yang melirik Saya, tetapi
dengan berbagai pertimbangan Saya putuskan untuk tidak mengambil
kesempatan tersebut. Saya tidak ingin timbul prasangka ada kemelut atau
politik di tempat kerja Saya sebelumnnya sehingga Saya memilih tempat
lain dengan tawaran posisi dan keahlian yang sama. Beberapa kali RESIGN,
Saya mempunyai prinsip bahwa Saya tidak akan masuk ke lingkungan yang
sama dengan lingkungan kerja sebelumnya. Misalnya Saya resign dari
pabrik, maka Saya tidak akan menerima tawaran kerja atau melamar di
Pabrik lagi dengan posisi yang sama. Saya selalu berprinsip, 'Jangan
pernah mau punya pekerjaan yang sama selama mungkin. Harus ada
peningkatan dan perkaya skill, cari peluang meskipun harus loncat
keluar.'
Beberapa kali RESIGN sebelum punya pekerjaan pengganti membuat Saya sangat paham beberapa hal ini :
- Setiap keputusan sudah mengalami pertimbangan yang panjang. Meski diragukan, Saya merasa perlu mengapresiasi keputusan ini.
Hanya
Saya yang tahu kegalauan apa yang diri ini alami setiap kali pulang
ke rumah dengan tubuh lelah. Hanya Saya yang tahu bagaimana akhir
pekan menjadi penghiburan yang terindah setelah enam hari mengalami
tekanan. Hanya Saya yang tahu situasi yang Saya rasakan di tempat kerja
Saya, dan hanya Saya yang tahu, berapa lama batin Saya bergolak,
bertanya pada diri sendiri benarkah keputusan yang Saya ambil ini.
Biar
saja orang bilang Saya sembrono, gegabah, pongah dan sombong. Satu yang
Saya tahu, keputusan ini diambil bukan tanpa pertimbangan atau
pergulatan atas segala kebimbangan. Karena itu, Saya merasa perlu untuk
mengapresiasi diri sendiri (lebih tepatnya menghibur diri dan membela
diri). Butuh keberanian besar untuk mengantarkan surat RESIGN ke meja
atasan. Apalagi jika atasan Kita itu sangat sangat baik dan loyal dengan
Kita sebagai bawahannya.
2. Saya memang harus berpikir "Mau apa sekarang" setiap pagi.
Lalu
apakah hidup Saya damai-damai saja setelah berganti status sebagai
"Pengacara" alias Pengangguran tanpa acara? Jelas tidak. Saya masih
harus menjawab pertanyaan maha sulit "sekarang dimana?".
Setelah RESIGN, Saya harus segera menentukan langkah selanjutnya. Karena
bagaimanapun menjadi pengangguran terlalu lama bukan tujuan Saya. Namun
sekarang, dengan ketiadaan bebean deadline pekerjaan dan
telepon-telepon atasan yang menagih pekerjaan, Saya bisa lebih fokus
untuk menentukan mau apa Saya setelah ini. Saya bisa browsing-browsing lowker tanpa sembunyi-sembunyi. Saya bisa mendatangi panggilan interview atau seminar-seminar untuk meningkatkan skill tanpa perlu mengarang sakit atau ada keperluan keluarga untuk bisa hadir.
3. Melepaskan
diri dari sesuatu butuh jeda untuk menenangkan diri. "Istirahat" dulu
di rumah membuat Saya bisa berpikir lebih jernih
Apakah Saya pernah menyesali keputusan Saya? Terkadang, IYA. Apalagi jika dikaitkan dengan prestise,
keinginan untuk nonton bioskop atau sekedar nongkrong makan di cafe
sementara uang di dompet kian tipis. Namun satu hal yang saya pahami,
sembari mencari peluang baru, ini adalah waktu bagi Saya untuk
memanjakan diri. Mungkin menyempatkan diri untuk piknik bersama keluarga
ke tempat-tempat seru yang selama ini cuma angan-angan saja. Atau
sekedar makan malam bersama keluarga mengganti waktu yang selama ini
sempat hilang dengan banyaknya pekerjaan. Atau menyalurkan hobbi Saya
menulis dan membaca. Hal-hal sederhana semacam itu sudah cukup memberi
Saya ruang baru untuk bisa berpikir jernih.
4. Tak punya penghasilan dari pekerjaan tetap memaksa Saya untuk lebih kreatif dan ubet. Dan ternyata bisa juga Saya begini.
Saya
adalah aktor dari film yang Saya sutradarai. Meskipun rejeki, jodoh
dan maut telah diatur, namun rejeki itu seperti jodoh yang harus
dijemput. Tidak bisa Kita hanya duduk manis kemudian simsalabim dapat
uang segepok. Meskipun banyak kenyataan yang tak sejalan sengan
rencana, tapi Saya tidak mau terjebak dalam hidup pengangguran yang
bangun pagi tanpa rencana dan tentunya tak punya banyak uang untuk
bersenang-senang. Meskipun Saya menganggur, raga Saya di rumah, namun
Saya harus bisa tetap menghasilkan uang. Saya harus bisa mencari project freelance untuk
menunjang kehidupan. Mengaku tidak pintar, tapi Alhamdulillah gelar
Sarjana Saya dua dan satu Magister. Saya harus bisa mendapatkan
penghasilan dari ilmu yang Saya pelajari. Dengan banyaknya waktu
yang Saya miliki Saya bisa lebih telaten mengerjakan beberapa project freelance
berbau akademis yang selama ini Saya pikir Saya tidak bisa
mengerjakannya. Dan Alhamdulillah hasilnya lebih dari ketika Saya punya
pekerjaan tetap.
Selain project freelance berbau akademis, karena gelar Sarjana Saya ada dua, Saya gunakan keahlian dan gelar sarjana Saya untuk merintis online shop dengan menggunakan platform e-comerce. Saya bangun kembali online shop dengan menggunakan platform e-comerce yang baru. Saya memang telah mempunyai bisnis online shop, akan tetapi bisnis itu terpaksa berhenti karena deadline pekerjaan yang membuat Saya hampir tidak punya waktu untuk mengurus hal-hal yang berbau pribadi. Tidak berhenti disitu saja, selain online shop yang Saya bangun sendiri, Saya pun dipercaya mengelola online shop yang sedang dirintis oleh teman Saya.
Selain project freelance berbau akademis, karena gelar Sarjana Saya ada dua, Saya gunakan keahlian dan gelar sarjana Saya untuk merintis online shop dengan menggunakan platform e-comerce. Saya bangun kembali online shop dengan menggunakan platform e-comerce yang baru. Saya memang telah mempunyai bisnis online shop, akan tetapi bisnis itu terpaksa berhenti karena deadline pekerjaan yang membuat Saya hampir tidak punya waktu untuk mengurus hal-hal yang berbau pribadi. Tidak berhenti disitu saja, selain online shop yang Saya bangun sendiri, Saya pun dipercaya mengelola online shop yang sedang dirintis oleh teman Saya.
5. Tak terikat waktu 40 jam seminggu
senin sampai Sabtu membuat Saya lebih loyal pada organisasi yang
selama ini hanya numpang nama dan hanya dikenal dari nama.
Tak
terikat dengan institusi maupun instansi manapun membuat Saya lebih
leluasa dalam membawa diri. Saya tidak perlu ijin mencuri-curi waktu
jam makan siang untuk menghadiri rapat dengan mengorbankan diri tidak
makan siang karena tidak cukup waktu, atau sering ijin dari perusahaan
ketika di delegasikan oleh organisasi untuk hadir dalam
kegiatan-kegiatannya. Tidak terikat waktu membuat Saya lebih sering
untuk datang menampakkan diri dan menjadi lebih dikenal. Untuk
mendapatkan peluang, PINTAR saja tidak cukup. Memperbanyak RELASI bisa
jadi dapat membuka peluang dan kesempatan baru. Atau bahkan bisa masuk
ke 'dunia' baru yang selama ini tidak pernah Kita bayangkan dapat
berada di dalamnya.
Melepaskan apa yang sudah lama menjadi
tumpuan memang tidak pernah mudah. Rasa takut salah mengambil keputusan
selalu saja ada. Namun Saya mempunyai prinsip apa yang telah Saya
putuskan tidak akan pernah Saya sesali. Saya meyakini bahwa setiap
keputusan selalu ada hikmahnya, termasuk keputusan berhenti bekerja.
Meski orang lain menilai Saya gegabah, hanya Saya yang benar-benar
tahu apa yang terjadi di sana kan?!?
No comments:
Post a Comment