Sepanjang pengamatan saya dalam
diam, telah terjadi pergeseran makna terhadap tradisi “MUDIK” Menurut istilah, Mudik
adalah kegiatan perantau / pekerja migran untuk kembali ke kampung halamannya. Kata mudik berasal dari sandi kata Bahasa Jawa ngoko
yaitu mulih dilik yang berarti pulang sebentar. Mudik di Indonesia
identik dengan tradisi tahunan yang terjadi menjelang hari raya besar keagamaan
misalnya menjelang lebaran. Pada saat itulah ada kesempatan untuk berkumpul
dengan sanak saudara yang tersebar di perantauan, selain tentunya juga sowan
dengan orang tua. Namun tradisi mudik lebaran kini tidak lagi sekadar ajang
silaturahmi, tetapi sudah menjadi ajang pamer keberhasilan materi. Mereka yang
sukses dan berlimpah materi, memperlihatkan gengsi sebagai ekspresi wah,
melampaui mereka yang kalah. Perilaku pamer
status sosial tersebut ditandai dengan pamer kendaraan, baju baru lengkap
dengan pernak-pernik perhiasan dan lainnya.
Penampilan masyarakat
yang mudik dengan memamerkan status sosial itu adalah untuk memperlihatkan
kepada keluarga atau pada kalangan kerabat dan masyarakat bahwa status sosial
mereka meningkat karena dinilai telah sukses di rantau. Namun ironisnya, justru banyak penampilan
mereka yang `kamuflase` atau mengelabui orang ditandai antara lain dengan
membawa kendaraan pribadi (kendati dirental), baju baru dan lainnya.
Sebagai contoh,
menjelang lebaran usaha persewaan (rental) mobil laris manis.
Bahkan ada penyewa yang tiap tahun
selalu meminta agar mobil yang disewanya warna catnya tidak diganti, jenis mobil
tersebut harus sama. Permintaan sewa mobil dengan persyaratan demikian,
katanya, penting untuk mengesankan mereka telah memiliki kendaraan sendiri
sekaligus menjaga citra bahwa dirinya sukses dirantau.
Contoh lainnya, yang
dirantau justru berbondong-bondong ke bank atau ke kantor pos mengirimkan wesel
atau belanja lebaran untuk keluarga di kampung, kendati uang yang dikirim Rp
500 hingga Rp 1 juta . Perilaku ini juga memamerkan bahwa mereka telah sukses
di rantau hingga berhasil mengirimkan belanja. Sebaliknya bagi orang di kampung
pergi ke kantor pos untuk mengambil kiriman belanja lebaran tentu akan bangga
dan menceritakan pada orang lainnya bahwa keluarganya dirantau telah sukses
hingga berhasil mengirimkan uang
Dari beberapa pemaparan
diatas tersirat bahwa kebiasaan mudik selama ini lumayan bergeser dari makna
awalnya, yakni bersilaturahmi. Adanya perasaan gengsi atau tidak mau kalah
dengan kesuksesan yang diraih saudara atau teman di kampung halaman bisa
menjadi salah satu pemicu bahwa persepsi mudik selama ini selalu identik dengan
ajang pamer kesuksesan, meskipun tentunya masih banyak pula para pemudik
lainnya yang memang mudik karena rindu dengan sanak keluarga dan lebih
mementingkan silaturahmi daripada sekedar menjadi ajang pamer semata.
Tradisi mudik seperti
sekarang inilah yang terkadang membuat saya malas untuk ikut mudik merayakan
lebaran bersama dengan keluarga besar. Disamping saya belum punya apa-apa yang
bisa dibanggakan dihadapan keluarga, melihat beberapa saudara yang selalu
dengan gadget barunya, tablet, ipad keluaran terbaru sedangkan saya tidak
pernah mengganti handphone jika handphone saya tidak rusak terkadang menjadi
beban psikis tersendiri.
Akan lebih baik bagi
kita bersama jika mudik yang pada awalnya memiliki tujuan mulia, yakni untuk
saling bersilaturahmi kembali diarahkan ke tujuan semula. Para pemudik jangan
lagi mempunyai pikiran bahwa mereka harus membawa sesuatu yang baru setiap kali
mudik. Melainkan para pemudik haruslah bersikap apa adanya saja, apabila ada
kelebihan finansial tidak salahnya membawakan oleh-oleh buat keluarga yang
nantinya bisa membuat mereka senang. Tetapi apabila keadaan finansial kurang
menguntungkan nggak usah deh memaksakan diri, pastinya keluarga di desa juga
akan mengerti dan mereka sebenarnya juga hanya ingin berkumpul dan
bersilaturahmi di hari raya Idul Fitri.
Keluarga di kampung
halaman bakal masih mengakui kita sebagai keluarga kok meskipun datang tidak
"bermewah-mewah"